Sabtu, 04 April 2009

ILMU TAJWID

GHUNNAH MUSYADDADAH
(نّ - مّ)

Yang dinamakan ghunnah musyaddadah adalah apabila ada nun bertasydid (نّ) atau mim bertasydid (مّ). Setiap ada nun atau mim bertasydid tersebut maka harus dibaca dengung yang sempurna (2 / 3 harakat)
Perhatikan contoh berikut :
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ عَمَّ يَتَسَاءَلُوْنَ


HUKUM BACAAN NUN SUKUN DAN TANWIN
نْ ( ً ٍ ٌ )

A. Idzhar Halqi
Yang diamakan idzhar halqi adalah apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu salah satu huruf halqi (yang keluar dari tenggorokan), yaitu : ء ح خ ع غ ﻫ
Adapun cara membacanya adalah harus dibaca jelas.
Contoh :
ء - مَنْ اٰمَنْ ح - مِنْ حمَِيْمٍ خ - مِنْ خَلاَقٍ
ع - اَنْعَمْتَ غ - مِنْ غِسْلٍ ﻫ - مَنْ هَلَكَ
B. Iqlab
Yang dinamakan iqlab adalah mengganti suara nun sukun atau tanwin menjadi mim sukun ketika bertemu dengan huruf Ba' (ب)
Contoh : سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ
C. Idghom Bighunnah
Yang dinamakan idghom bighunnah adalah apabila ada nun sukun atau tanwiin bertemu dengan salah satu huruf 4, yaitu : ي م ن و Adapun cara membacanya adalah dengan meleburkan bunyi huruf yang pertama kepada huruf sesudahnya sehingga bunyi huruf yang pertama tidak terdengar lagi dan harus dibaca dengung yang lama.
Contoh :
ي - قُلُوْبٌ يَّوْمَئِذٍ م – عَذَابٌ مُّقِيْمٌ
ن – عَنْ نَّفْسِهِ و – مِنْ وَّرَائِهِمْ
D. Idghom Bila Ghunnah
Yang dinamakan idghom bila ghunnah adalah apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu salah satu huruf ل ر Adapun cara membacanya adalah dengan meleburkan bunyi huruf yang pertama kepada huruf sesudahnya sehingga bunyi huruf yang pertama tidak terdengar lagi, tapi tidak boleh dibaca dengung.
Contoh : ل - مِنْ لَّدُنْهُ ر – رَبٍّ رَّحِيْمٍ
E. Ikhfa' Haqiqi
Yang dinamakan ikhfa' haqiqi adalah apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu salah satu huruf lima belas, selain huruf-huruf yang telah disebutkan di atas yaitu:ت ث ج د ذ ز س ش ص ض ط ظ ف ق ك
Cara membacanya adalah dengan menyamarkan (antara idzhar dan idgham) disertai dengan dengung yang sempurna.
Contoh :
ت - مِنْ تَحْتِهاَ ث - مَاءً ثَجَّاجًا ج - اَنْجَيْنَاكُمْ
ش – عَذَابًا شَدِيْداً د – مِنْ دُوْنِ اللهِ ذ – مَنْ ذَاالَّذِيْ
س – اِنَّ الْاِنْسَانَ ش – عَذَابٌ شَدِيْدٌ ص – وَلَدًاصَالِحًا
ض – مَنْضُوْدٍ ط – وَمَا يَنْطِقُ ظ – عَنْ ظُهُوْرِهِمْ
ف – عُمْيٌ فَهُمْ ق – رِزْقًاقَالُوْا ك – كِرَامًاكَاتِبِيْنَ


HUKUM BACAAN AL
(اَلْ)

A. Idzhar (Al) Qomariyyah
Yang dinamakan Idzhar qamariyyah adalah apabila ada "Al" bertemu huruf qamariyah yang berjumlah 14, yaitu : ب ج ح خ ع غ ف ق ك م و ه ء ي
Apabila ada bacaan "Al" bertemu dengan huruf qamariyah tersebut maka "Al" tetap dibaca jelas.
Contoh : اَلْبَلاَغُ اَلْخَبِيْرُ اَلْغَفُوْرُ
B. Idgham (Al) Syamsiyyah
Yang dinamakan idgham syamsiyyah adalah apabila ada "Al" bertemu salah satu huruf syamsiyah yaitu : ت ث د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ل ن Apabila ada bacaan tersebut maka "Al" tidak lagi dibaca jelas, melainkan masuk ke huruf berikutnya.
Contoh : وَالتِّيْنِ وَالشَّمْسِ اَلضَّلاَلُ


HUKUM BACAAN MIM SUKUN
( مْ )


A. Idgham Mutamatsilain
Yang dinamakan idgham mutamatsilain adalah apabila ada mim sukun bertemu dengan mim. Adapun cara membacanya adalah dengan dengung yang sempurna.
Contoh : لَهُمْ مَا يَتَّقُوْنَ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ
B. Ikhfa' Syafawi
Yang dinamakan idzhar syafawi adalah apabila ada mim sukun bertemu dengan huruf ba' (ب). Cara membacanya adalah dengan dengung yang sampurna.
Contoh : تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ رَبُّهُمْ بِهِمْ
C. Idzhar Syafawi
Yang dinamakan idzhar syafawi adalah apabila ada mim sukun bertemu dengan huruf : ا ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل ن و ﻫ ي. Adapun cara membacanya adalah dengan menjelaskan atau menegaskan suara mim sukun tanpa disertai dengung.
Contoh : ن- لَهُمْ نَائِمُوْنَ ل- اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُم


LAFADZ ALLAH
(الله)


Hukum Bacaan lafadz Allah terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Tafkhim
Dibaca tafkhim apabila lafadz Allah didahului harakat fathah atau dhummah.
Contoh : قُلْ هُوَ اللهُ اِذَاجَاءَ نَصْرُاللهِ
2. Tarqiq
Dibaca tarqiq apabila lafadz Allah bertemu didahului dengan harakat kasrah.
Contoh : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


HUKUM BACAAN RA'
(ر)

Huruf ra (ر) adalah salah satu huruf hijaiyah yang pengucapannya berbeda-beda, suatu waktu dibaca tebal (tafkhim) dan suatu waktu dibaca tipis (tarqiq). Jadi hukum membaca huruf ra' ada dua macam, yaitu :
1. Tafkhim (تفخيم)
Ra' dibaca tafkhim apabila :
a. Berharakat fathah, fathatain, dhummah atau dhummatain.
Contoh : اَلرَّحِيْمُ خَيْرًا رُوَيْدًا كَبِيْرٌ
b. Berharakat sukun dan huruf sebelumnya berharakat fathah atau dhummah.
Contoh : اَرْسَلَ قُرْ آنٌ
c. Berharakat sukun dan huruf sebelumnya berupa hamzah washal (hamzah tambahan) yang berharakat kasrah.
Contoh : اِرْجِعِيْ اِرْكَبْ
d. Berharakat sukun, huruf sebelumnya berharakat kasrah dan huruf sesudahnya berupa huruf isti'la' (huruf yang dibaca tebal, yaitu: خ ص ض غ ط ق ظ)
Contoh : مِرْصَادٌ قِرْطَاسٌ فِرْقَةٌ
e. Didahului huruf mati selain ya' yang sebelumnya berupa huruf yang berharakat fathah dan dibaca waqaf.
Contoh : ©وَالْفَجْرِ ® وَالْفَجْرْ
©مِنْ اَلْفِ شَهْرٍ ® مِنْ اَلْفِ شَهْرْ
2. Tarqiq (ترقيق)
Ra' dibaca tarqiq apabila :
a. Berharakat kasrah atau kasratain.
Contoh : رٍ- خُسْرٍ رِ- رِجْسٌ
b. Berharakat sukun dan huruf sebelumnya berharakat kasrah.
Contoh : فِرْعَوْنَ فَكَبِّرْ
c. Didahului ya' sukun dibaca waqaf.
Contoh : © خَيْرٍ® خَيْرْ ©بَصِيْرٌ ® بَصِيْرْ
d. Didahului huruf mati selain ya' yang sebelumnya berupa huruf yang berharakat kasrah dan dibaca waqaf. Contoh : © بِكْرٌ ® بِكْرْ


BACAAN QALQALAH

Yang dinamakan bacaan qalqalah adalah membunyikan huruf dengan suara yang berlebih dari makhraj hurufnya (disertai dengan getaran suara).
Huruf qalqalah ada lima, yaitu ق ط ب ج د yang terkumpul dalam lafadz : قَطْبُ جَدٍ
Bacaan qalqalah dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Qalqalah sughra
Yaitu apabila ada huruf qalqalah yang dibaca sukun (mati) asli. Contoh :
ق- يَقْرَأُ ط- اَطْوَارًا ب- يَبْخَلُ ج- يَجْعَلُ
د- يَدْخُلُ


2. Qalqalah kubra
Yaitu apabila ada huruf qalqalah dibaca sukun karena waqaf. Contoh : © اَحَدٌ ® اَحَدْ © خَلَقَ ® خَلَقْ


HUKUM BACAAN MAD

Yang dinamakan mad adalah apabila ada fathah diikuti alif, kasrah diikuti ya' sukun, dhummah diikuti wawu sukun dan harus dibaca panjang.
Hukum mad dibagi menjadi dua, yaitu :
A. Mad Asli atau mad thabi'i ( مد اصلي ¤مد طبيعي )
Yaitu mad yang tidak bertemu hamzah, sukun dan tasydid. Cara membacanya adalah panjang satu alif / dua harakat. Contoh : قَالُوْا نُوْحِيْهَا
B. Mad Far'I (مد فرعي)
Yaitu mad yang bertemu dengan hamzah, sukun atau tasydid.

Mad far'i terbagi menjadi :
1. Mad Wajib Muttashil
Yaitu apabila ada mad bertemu dengan hamzah dalam satu kalimat. Adapun cara membacanya adalah panjang lima harakat / dua setengah alif.
Contoh : لِقَاءَۤنَا - نِدَاۤءً
2. Mad Jaiz Munfashil
Yaitu apabila ada mad bertemu dengan hamzah di lain kalimat. Cara membacanya adalah panjang lima harakat / dua setengah alif.
Contoh : اِنَّاۤ اَعْطَيْنَاكَ - وَمَاۤ اُمِرُوْا
3. Mad Lazim Kilmi mutsaqqal
Yaitu apabila ada mad bertemu dengan tasydid dalam satu kalimat. Panjangnya adalah enam harakat / tiga alif.
Contoh : وَلاَالضَّـۤالِّيْنَ - اَلْحَاۤقَّةُ
4. Mad Lazim Kilmi Mukhaffaf
Yaitu apabila ada mad bertemu dengan huruf sukun asli dalam satu kalimat. Panjangnya adalah enam harakat / tiga alif.
Contoh : اٰۤ ْلاٰنَ
5. Mad Lazim Harfi Mutsaqqal
Yaitu mad yang terletak pada huruf-huruf fawatihus suwar (pembuka surat). Panjangnya adalah enam harakat / tiga alif
Contoh : حٰمۤ طٰسۤ
6. Mad Lazim Harfi Mukhaffaf
Yaitu mad yang terletak pada huruf-huruf pembuka surat dan bertemu tasydid. Panjangnya adalah enam harakat / tiga alif
Contoh : الم طٰسم
7. Mad Iwadh
Yaitu harakat fathatain dibaca waqaf, selain ta' marbuthah (ﺔ ). Panjangnya dua harakat / satu alif. Contoh : © عَلِيْمًا ® عَلِيْمَا
8. Mad Silah
Yaitu setiap ada ha' dhamir ( ﻪ ) / Hu atau Hi yang terletak diantara dua huruf hidup. Mad silah terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Mad Silah Qasirah
Yaitu apabila ada mad silah bertemu dengan huruf selain hamzah. Panjangnya dua harakat / satu alif. Contoh : لاَتَأْخُذُه سِنَةٌ
b. Mad Silah Thawilah
Yaitu apabila ada mad silah bertemu dengan hamzah (bentuknya alif). Panjangnya dua setengah alif / lima harakat.
Contoh : مَا لَه اَخْلَدَهُ
9. Mad 'Aridh Lis sukun
Yaitu apabila ada mad bertemu huruf hidup dibaca waqaf. Panjangnya boleh 2, 4 atau 6 harakat. Contoh : © صِرَاطَ الْمُسْتَقِيْمِ ® صِرَاطَ الْمُسْتَقِيْمْ
10. Mad Badal
Yaitu setiap ada aa, ii, uu yang dibaca panjang. Adapun cara membacanya adalah panjang dua harakat atau satu alif.
Contoh : آمَنُوْا اِيْمَانٌ اُوْتُوْا

11. Mad Layyin
Yaitu apabila ada fathah diikuti wawu sukun atau ya' sukun bertemu huruf hidup dibaca waqaf. Panjangnya adalah tiga alif / enam harakat.
Contoh : © مِنْ خَوْفٍ ® مِنْ خَوْفْ
© اِلَيْهِ ® اِلَيْهْ


TANDA WAQAF

Menurut bahasa waqaf artinya berhenti. Sedangkan dalam istilah ilmu tajwid waqaf adalah menghentikan pembacaan, baik untuk tidak diteruskan atau untuk mengambil nafas agar dapat melanjutkan bacaan selanjutnya. Waqaf dibagi menjadi dua, yaitu :
Waqaf Ikhtiyari
Yaitu waqaf yang disengaja tanpa ada suatu sebab apapun, seperti ketika ada tanda waqaf atau pada akhir ayat.
Contoh :© اَلْحَمْدُللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ


Waqaf Idhtirari
Yaitu waqaf yang terpaksa dilakukan karena sebab-sebab tertentu, seperti karena pendek nafas. Dalam hal ini seseorang yang terpaksa waqaf karena tidak kuat lagi nafasnya, maka harus mengulangi kalimat sebelumnya.
lContoh :
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ الَّذِيْنَ اِذَااكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَ©
Karena pendek nafas, kemudian berhenti pada kalimat اِذَااكْتَالُوْا maka sebelum dilanjutkan harus diulang dari اِذَااكْتَالُوْا

Tanda-tanda waqaf : ط قلى قف ج ® sebaiknya berhenti
م ® harus berhenti

Tanda-tanda washal : ص صلى لا ز ® sebaiknya dibaca terus

Nikah Mut'ah Dalam Pandangan Islam

A. Pengertian Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah merupakan gabungan dari dua kata, yaitu nikah dan mut'ah. Menurut istilah, nikah artinya adalah akad yang membolehkan dua pasangan (suami dan istri) untuk bersenang-senang (berhubungan intim) atas dasar yang disyariatkan. Sedangkan pengertian mut'ah dalam hal ini ada dua pengertian, yaitu :
1. Suatu pemberian dari suami kepada istrinya sewaktu dia menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan kepada laki-laki apabila perceraian itu terjadi atas kehendak suami. Tetapi apabila perceraian itu terjadi atas kehendak istri maka pemberian itu tidak wajib.[1]
2. Kesenangan yang mutlak, yang dijadikan dasar hidup bagi pria untuk mencapai keinginannya, hawa nafsunya dan birahinya dari seorang wanita tanpa syarat. Hal ini dilakukan dengan perkawinan sementara atau yang biasa dinamakan "kawin kontrak" dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[2]
Dari dua pengertian mut'ah tersebut, maka pengertian yang cocok untuk pengertian nikah mut'ah adalah pengertian yang kedua.
Jadi pengertian nikah mut'ah adalah akad pernikahan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan biologis sang suami kepada istrinya, tanpa ada tujuan untuk membangun rumah tangga dan memperoleh keturunan.
Menurut imam Ali As-Shobuni, kawin kontrak (nikah mut'ah) adalah seorang pria menyewa seorang wanita hingga suatu waktu yang telah ditentukan dengan ongkos yang telah dipastikan. Pria tersebut dapat menggauli wanita yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan, misalnya sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari, kemudian meninggalkan si wanita sesudah terpenuhi keinginannya.[3]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa melalui kawin kontrak seorang pria hanyalah menempatkan istri sebagai wanita sewaan yang dapat ditinggalkan begitu saja setelah waktu yang telah ditentukan habis dan nafsu si pria telah terpenuhi.

B. Hukum Nikah Mut'ah
Dalam syari'at Islam nikah mut'ah ini dianggap batal, karena tidak memenuhi syarat kesucian niat, maksud mencari pasangan, tujuan memperoleh keturunan, manfaat timbal balik, cinta yang menjadi dasar pengorbanan, menghormati manusia sebagai makhluk yang mulia dan berbudi pekerti tinggi. Nikah mut'ah ini tidak jauh beda dengan mengontrak rumah atau lahan pertanian, yang apabila sudah tidak dibutuhkan akan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.
Menurut imam madzhab empat, mereka sepakat bahwa hukum nikah mut'ah adalah haram. Kalaupun nikah mut'ah ini tetap terjadi maka dianggap batal. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut :
Nikah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh al-Qur'an. Jadi pernikahan seperti ini batal sebagaimana perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
Banyak hadis yang menyebutkan keharaman nikah mut'ah, diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW telah mengharmkan nikah mut'ah dengan sabdanya " Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kalian kawin mut'ah. Tapi sekarang ketahuilah bahwa aku telah mengharamkan kawi mut'ah sampai hari kiamat".
Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkan nikah mut'ah dan para sahabat menyetjuinya. Padahal mereka tiadk akan mau menyetujui hal yang salah, andaikata mengharamkan nikah mut'ah itu salah.
Nikah mut'ah hanya bertjuan untuk melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan da mempelihara anak yang keduanya merupakan tujuan pokok dari pernikahan. Oleh karena itu nikah mut'ah ini hampir sama dengan zina karena hanya untuk bersenang-senang.
Nikah mut'ah membahayakan perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Juga merugikan anak-anak, karena mereka tidakmendapatkan rumah untuk tinggal dan memperoleh pemeliharaan serta pendidikan dengan baik.[4]
Keharaman nikah mut'ah ini merupakan ijma' para ulama kecuali oleh beberapa golongan aliran syi'ah. Mereka mengatakan bahwa nikah mut'ah diperbolehkan. Mereka juga mengeluarkan beberapa hadis untuk menguatkan pendapatnya tersebut, di antaranya riwayat dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far, ia berkata "Sesungguhnya Allah bersifat lembut terhadap kalian, lalu Ia menjadikan kawin mut'ah sebagai ganti pengharaman minuman keras bagi kalian".
Akan tetapi pendapat golongan syi'ah tersebut tetap tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan dalam Al-Qur'an Allah telah berfirman yang artinya :
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas".
Ayat tersebut menjadi dalil pengharaman nikah mut'ah, karena Allah mengharamkan seluruh kemaluan wanita bagi kaum mukmin, kecuali kemaluan wanita yang dihalalkan Allah melalui akad nikah secara syar'i atau hubungan penghambaan. Sedangkan wanita dalam nikah mut'ah jelas bukan kedua-duanya, mereka hanyalah wanita sewaan.[5]
Selanjutnya dalil pengharaman nikah mut'ah secara logika adalah bahwa sesungguhnya pernikahan tidakdisyariatkan oleh agama untuk pelampiasan nafsu semata, tetapi sebagai media interaksi sosial dan tujuan-tujuan lain yang berhubungan dengan pernikahan, seperti ketenangan jiwa, mengasuh anak dan membentuk rumah tangga serta kelestarian jenis manusia melalui cara-cara yang sesuai dengan kemuiaan manusia. Sehingga apabila pernikahan hanya dijadikan sebagai media pelampiasan nafsu semata, maka yang timbul hanyalah permasalahan-permasalahan yang rumit dan tentunya harga diri manusia tidak jauh berbeda dengan binatang.

C. Dampak Nikah Mut'ah
Agama telah menetapkan syarat dan rukun bagi tiap-tiap hukumnya. Hal ini untuk membedakan antara perbuatan yang mempunyai nilai ibadah dan perbuatan yang sifatnya hanya mubah. Juga untuk membedakan dengan perbuatan yang tergolong dosa, karena tidak memenuhi syarat rukunnya.
Oleh karena itu sebagai insan muslim kita harus benar-benar memperhatikan rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Khususnya dalam hal ini adalah berkenaan dengan syarat dan rukun pernikahan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa nikah mut'ah tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan sebagaimana ditetapkan oleh syari'at Islam, maka nikah mut'ah ini menimbulkan dampak atau permasalahan-permasalahan, baik secara yuridis maupun sosiologis.
Adapun permasalahan yuridis yang dimaksud di antaranya adalah:
1. Tidak Adanya Mawaddah Wa Rahmah
Keberadaan mawaddah wa rahmah dalam suatu pernikahan merupakan suatu keharusan. Karena dengan hal tersebut keduanya (suami istri) dapat senantiasa mengatasi permasalahan yang timbul dalam mengarngi bahtera rumah tangga dan menunjukkan bahwa tujuan dari pernikahan antara pria dan wanita tidak hanya bertujuan untuk pelampiasan kebutuhan biologis saja, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sosial lainnya. Oleh karena itu praktek nikah mut'ah yang hanya berlangsung untuk beberapa waktu saja, maka sudah pasti mawaddah wa rahmah ini tidak dapat terwujud. Hal ini ibarat pepatah "Habis manis sepah dibuang".
2. Tidak adanya nafkah
Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada anak dan istri merupakan konsekwensi dari kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini tentunya tidak akan ditemukan dalam nikah mut'ah, karena tujuan utamanya hanyalah untuk memenuhi kebutuhan biologis saja.
3. Tidak adanya mekanisme pewarisan antara suami istri
Mekanisme pewarisan antara suami istri ini akan selalu ada ketika sepasang pria dan wanita telah terikat dalam ikatan pernikahan. Akan tetapi dalam nikah mut'ah mekanisme ini tidak akan ditemukan, karena ketika waktu yang telah ditentukan dalam nikah mut'ah telah habis, maka tidak ada ikatan lagi antara suami istri tersebut.
4. Tidak adanya mekanisme cerai
Dalam dunia rumah tangga, Islam memberikan rambu-rambu yang cukup jelas agar jangan sampai terjadi tindak kekerasan dan tindakan-tindakan lain yang menyakitkan dalam kehidupan rumah tangga. Salah satunya adalah menetapkan mekanisme cerai sebagai jalan keluar terakhir dari kemelut yang mungkin terjadi dalam dalam keluarga.
Mekanisme cerai ini tidak dikenal dalam nikah mut'ah, karena masa perkawinan telah ditetapkan pada awal akad sehingga perkawinan akan berakhir dengan sendirinya ketika masanya telah habis. Hal ini tentunya akan merugikan wanita, karena ia tidak menerima mut'ah (ganti rugi) talaq dari pria yang telah menikmatinya, tidak mendapatkan nafkah selama masa 'iddah dan apabila ia punya anak maka anak tersebut tidak mendapatkan nafkah dari ayahnya.[6]
Selanjutnya permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul dari nikah mut'ah adalah sebagai berikut :
1. Merendahkan Martabat Wanita
Dalam Islam seorang wanita memilki kedudukan yang mulia. Sebagai bukti penghormatan terhadap wanita dalam kehidupan rumah tangga, Islam memerintahkan kepada para suami untuk menggaulinya secara baik, tidak berbuat kasar dan bertindak adil.
Melihat hal tersebut maka dalam praktek nikah mut'ah, wanita ditempatkan pada kedudukan yang paling rendah karena ia tidak dipandang sebagai istri tapi hanya sebagai wanita sewaan.
2. Melegalkan Seks Bebas dan Prostitusi Atas Nama Agama
Umat Islam dalam pandangan Islam bukanlah sekedar hewan yang berbicara. Dalam hal ini Allah SWT tidak menginginkan regenerasi manusia terjadi dengan cara-cara yang keji uang dapat menjatuhkan martabat manusia. Oleh karena itu Islam hanya memperkenankan hubungan antara lawan jenis bila telah melalui mekanisme pernikahan. Demikian juga jalan menuju pernikahan itu harus melalui mekanisme tertentu, seperti menelusuri terlebih dahulu apakah wanita yang akan dinikahi itu sudah bersuami atau belum.
Dalam nikah mut'ah tidak ada anjuran untuk menelusiri hal tersebut. Sehingga seorang lelaki boleh menikahi wanita manapun yang ia inginkan sekalipun ia telah menjadi istri orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa nikah mut'ah itu sama halnya melegalkan seks bebas dan prostitusi atas nama agama.
3. Penelantaran Anak
Anak-anak yang lahir pada suatu keluarga merupakan amanat Allah yang dititipkan kepada para orang tua, dengan maksud agar orang tua dapat merawatnya,membimbingnya dan mendidiknya hingga menjadi generasi yang agamis. Tanggung jawab orang tua untuk mengasuh anaknya tersebut merupakan ibadah apabila dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian seseorang yang telah melaksanakan pernikahan sesuai dengan syari'at, kemudian merawat dan mengasuh anaknya dengan baik, bertai telah melaksanakan serangkaian ibadah yang akan diperhitungkan di hari pembalasn kelak.
Dalam nikah mut'ah, seorang suami tidak lagi berkewajiban merawat dan mengasuh anaknya (apabila si istri melahirkan seorang anak) ketika waktu yang telah ditentukan pada saat akad habis. Ini berarti anak yang dihasilkan dari pernikahan mut'ah tersebut tidak bisa mendapatkan perawatan dan pendidikan secara utuh dari kedua orang tuanya, sehingga anak-anak ini akan terlantar. Dan hal ini tentunya sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup anak tersebut.






[1] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 397
[2] Fuad Moch Fahruddin, Kawin Mut'ah Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 72
[3] Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Jakarta: CV. Pamulang, 2005), h. 15
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma'arif, 19980), h. 65
[5] Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam…, h. 36
[6] Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam…, h. 38-43