Sabtu, 04 April 2009

Nikah Mut'ah Dalam Pandangan Islam

A. Pengertian Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah merupakan gabungan dari dua kata, yaitu nikah dan mut'ah. Menurut istilah, nikah artinya adalah akad yang membolehkan dua pasangan (suami dan istri) untuk bersenang-senang (berhubungan intim) atas dasar yang disyariatkan. Sedangkan pengertian mut'ah dalam hal ini ada dua pengertian, yaitu :
1. Suatu pemberian dari suami kepada istrinya sewaktu dia menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan kepada laki-laki apabila perceraian itu terjadi atas kehendak suami. Tetapi apabila perceraian itu terjadi atas kehendak istri maka pemberian itu tidak wajib.[1]
2. Kesenangan yang mutlak, yang dijadikan dasar hidup bagi pria untuk mencapai keinginannya, hawa nafsunya dan birahinya dari seorang wanita tanpa syarat. Hal ini dilakukan dengan perkawinan sementara atau yang biasa dinamakan "kawin kontrak" dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[2]
Dari dua pengertian mut'ah tersebut, maka pengertian yang cocok untuk pengertian nikah mut'ah adalah pengertian yang kedua.
Jadi pengertian nikah mut'ah adalah akad pernikahan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan biologis sang suami kepada istrinya, tanpa ada tujuan untuk membangun rumah tangga dan memperoleh keturunan.
Menurut imam Ali As-Shobuni, kawin kontrak (nikah mut'ah) adalah seorang pria menyewa seorang wanita hingga suatu waktu yang telah ditentukan dengan ongkos yang telah dipastikan. Pria tersebut dapat menggauli wanita yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan, misalnya sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari, kemudian meninggalkan si wanita sesudah terpenuhi keinginannya.[3]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa melalui kawin kontrak seorang pria hanyalah menempatkan istri sebagai wanita sewaan yang dapat ditinggalkan begitu saja setelah waktu yang telah ditentukan habis dan nafsu si pria telah terpenuhi.

B. Hukum Nikah Mut'ah
Dalam syari'at Islam nikah mut'ah ini dianggap batal, karena tidak memenuhi syarat kesucian niat, maksud mencari pasangan, tujuan memperoleh keturunan, manfaat timbal balik, cinta yang menjadi dasar pengorbanan, menghormati manusia sebagai makhluk yang mulia dan berbudi pekerti tinggi. Nikah mut'ah ini tidak jauh beda dengan mengontrak rumah atau lahan pertanian, yang apabila sudah tidak dibutuhkan akan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.
Menurut imam madzhab empat, mereka sepakat bahwa hukum nikah mut'ah adalah haram. Kalaupun nikah mut'ah ini tetap terjadi maka dianggap batal. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut :
Nikah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh al-Qur'an. Jadi pernikahan seperti ini batal sebagaimana perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
Banyak hadis yang menyebutkan keharaman nikah mut'ah, diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW telah mengharmkan nikah mut'ah dengan sabdanya " Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kalian kawin mut'ah. Tapi sekarang ketahuilah bahwa aku telah mengharamkan kawi mut'ah sampai hari kiamat".
Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkan nikah mut'ah dan para sahabat menyetjuinya. Padahal mereka tiadk akan mau menyetujui hal yang salah, andaikata mengharamkan nikah mut'ah itu salah.
Nikah mut'ah hanya bertjuan untuk melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan da mempelihara anak yang keduanya merupakan tujuan pokok dari pernikahan. Oleh karena itu nikah mut'ah ini hampir sama dengan zina karena hanya untuk bersenang-senang.
Nikah mut'ah membahayakan perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Juga merugikan anak-anak, karena mereka tidakmendapatkan rumah untuk tinggal dan memperoleh pemeliharaan serta pendidikan dengan baik.[4]
Keharaman nikah mut'ah ini merupakan ijma' para ulama kecuali oleh beberapa golongan aliran syi'ah. Mereka mengatakan bahwa nikah mut'ah diperbolehkan. Mereka juga mengeluarkan beberapa hadis untuk menguatkan pendapatnya tersebut, di antaranya riwayat dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far, ia berkata "Sesungguhnya Allah bersifat lembut terhadap kalian, lalu Ia menjadikan kawin mut'ah sebagai ganti pengharaman minuman keras bagi kalian".
Akan tetapi pendapat golongan syi'ah tersebut tetap tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan dalam Al-Qur'an Allah telah berfirman yang artinya :
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas".
Ayat tersebut menjadi dalil pengharaman nikah mut'ah, karena Allah mengharamkan seluruh kemaluan wanita bagi kaum mukmin, kecuali kemaluan wanita yang dihalalkan Allah melalui akad nikah secara syar'i atau hubungan penghambaan. Sedangkan wanita dalam nikah mut'ah jelas bukan kedua-duanya, mereka hanyalah wanita sewaan.[5]
Selanjutnya dalil pengharaman nikah mut'ah secara logika adalah bahwa sesungguhnya pernikahan tidakdisyariatkan oleh agama untuk pelampiasan nafsu semata, tetapi sebagai media interaksi sosial dan tujuan-tujuan lain yang berhubungan dengan pernikahan, seperti ketenangan jiwa, mengasuh anak dan membentuk rumah tangga serta kelestarian jenis manusia melalui cara-cara yang sesuai dengan kemuiaan manusia. Sehingga apabila pernikahan hanya dijadikan sebagai media pelampiasan nafsu semata, maka yang timbul hanyalah permasalahan-permasalahan yang rumit dan tentunya harga diri manusia tidak jauh berbeda dengan binatang.

C. Dampak Nikah Mut'ah
Agama telah menetapkan syarat dan rukun bagi tiap-tiap hukumnya. Hal ini untuk membedakan antara perbuatan yang mempunyai nilai ibadah dan perbuatan yang sifatnya hanya mubah. Juga untuk membedakan dengan perbuatan yang tergolong dosa, karena tidak memenuhi syarat rukunnya.
Oleh karena itu sebagai insan muslim kita harus benar-benar memperhatikan rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Khususnya dalam hal ini adalah berkenaan dengan syarat dan rukun pernikahan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa nikah mut'ah tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan sebagaimana ditetapkan oleh syari'at Islam, maka nikah mut'ah ini menimbulkan dampak atau permasalahan-permasalahan, baik secara yuridis maupun sosiologis.
Adapun permasalahan yuridis yang dimaksud di antaranya adalah:
1. Tidak Adanya Mawaddah Wa Rahmah
Keberadaan mawaddah wa rahmah dalam suatu pernikahan merupakan suatu keharusan. Karena dengan hal tersebut keduanya (suami istri) dapat senantiasa mengatasi permasalahan yang timbul dalam mengarngi bahtera rumah tangga dan menunjukkan bahwa tujuan dari pernikahan antara pria dan wanita tidak hanya bertujuan untuk pelampiasan kebutuhan biologis saja, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sosial lainnya. Oleh karena itu praktek nikah mut'ah yang hanya berlangsung untuk beberapa waktu saja, maka sudah pasti mawaddah wa rahmah ini tidak dapat terwujud. Hal ini ibarat pepatah "Habis manis sepah dibuang".
2. Tidak adanya nafkah
Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada anak dan istri merupakan konsekwensi dari kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini tentunya tidak akan ditemukan dalam nikah mut'ah, karena tujuan utamanya hanyalah untuk memenuhi kebutuhan biologis saja.
3. Tidak adanya mekanisme pewarisan antara suami istri
Mekanisme pewarisan antara suami istri ini akan selalu ada ketika sepasang pria dan wanita telah terikat dalam ikatan pernikahan. Akan tetapi dalam nikah mut'ah mekanisme ini tidak akan ditemukan, karena ketika waktu yang telah ditentukan dalam nikah mut'ah telah habis, maka tidak ada ikatan lagi antara suami istri tersebut.
4. Tidak adanya mekanisme cerai
Dalam dunia rumah tangga, Islam memberikan rambu-rambu yang cukup jelas agar jangan sampai terjadi tindak kekerasan dan tindakan-tindakan lain yang menyakitkan dalam kehidupan rumah tangga. Salah satunya adalah menetapkan mekanisme cerai sebagai jalan keluar terakhir dari kemelut yang mungkin terjadi dalam dalam keluarga.
Mekanisme cerai ini tidak dikenal dalam nikah mut'ah, karena masa perkawinan telah ditetapkan pada awal akad sehingga perkawinan akan berakhir dengan sendirinya ketika masanya telah habis. Hal ini tentunya akan merugikan wanita, karena ia tidak menerima mut'ah (ganti rugi) talaq dari pria yang telah menikmatinya, tidak mendapatkan nafkah selama masa 'iddah dan apabila ia punya anak maka anak tersebut tidak mendapatkan nafkah dari ayahnya.[6]
Selanjutnya permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul dari nikah mut'ah adalah sebagai berikut :
1. Merendahkan Martabat Wanita
Dalam Islam seorang wanita memilki kedudukan yang mulia. Sebagai bukti penghormatan terhadap wanita dalam kehidupan rumah tangga, Islam memerintahkan kepada para suami untuk menggaulinya secara baik, tidak berbuat kasar dan bertindak adil.
Melihat hal tersebut maka dalam praktek nikah mut'ah, wanita ditempatkan pada kedudukan yang paling rendah karena ia tidak dipandang sebagai istri tapi hanya sebagai wanita sewaan.
2. Melegalkan Seks Bebas dan Prostitusi Atas Nama Agama
Umat Islam dalam pandangan Islam bukanlah sekedar hewan yang berbicara. Dalam hal ini Allah SWT tidak menginginkan regenerasi manusia terjadi dengan cara-cara yang keji uang dapat menjatuhkan martabat manusia. Oleh karena itu Islam hanya memperkenankan hubungan antara lawan jenis bila telah melalui mekanisme pernikahan. Demikian juga jalan menuju pernikahan itu harus melalui mekanisme tertentu, seperti menelusuri terlebih dahulu apakah wanita yang akan dinikahi itu sudah bersuami atau belum.
Dalam nikah mut'ah tidak ada anjuran untuk menelusiri hal tersebut. Sehingga seorang lelaki boleh menikahi wanita manapun yang ia inginkan sekalipun ia telah menjadi istri orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa nikah mut'ah itu sama halnya melegalkan seks bebas dan prostitusi atas nama agama.
3. Penelantaran Anak
Anak-anak yang lahir pada suatu keluarga merupakan amanat Allah yang dititipkan kepada para orang tua, dengan maksud agar orang tua dapat merawatnya,membimbingnya dan mendidiknya hingga menjadi generasi yang agamis. Tanggung jawab orang tua untuk mengasuh anaknya tersebut merupakan ibadah apabila dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian seseorang yang telah melaksanakan pernikahan sesuai dengan syari'at, kemudian merawat dan mengasuh anaknya dengan baik, bertai telah melaksanakan serangkaian ibadah yang akan diperhitungkan di hari pembalasn kelak.
Dalam nikah mut'ah, seorang suami tidak lagi berkewajiban merawat dan mengasuh anaknya (apabila si istri melahirkan seorang anak) ketika waktu yang telah ditentukan pada saat akad habis. Ini berarti anak yang dihasilkan dari pernikahan mut'ah tersebut tidak bisa mendapatkan perawatan dan pendidikan secara utuh dari kedua orang tuanya, sehingga anak-anak ini akan terlantar. Dan hal ini tentunya sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup anak tersebut.






[1] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 397
[2] Fuad Moch Fahruddin, Kawin Mut'ah Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 72
[3] Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Jakarta: CV. Pamulang, 2005), h. 15
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma'arif, 19980), h. 65
[5] Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam…, h. 36
[6] Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam…, h. 38-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar